Kantor Pos = Curang? Menipu? (Salah Informasi Tarif Kirim Surat Pakai Prangko)

Siapa di zaman ini yang masih surat menyurat pribadi untuk berkomunikasi? Pasti sedikit, termasuk generasi tua. Bagaimana dengan generasi muda? Bisa dibilang sama, walau terbantu dengan kegiatan pen paling sekalipun. Ada yang tidak tahu pen paling

Dalam bahasa Indonesia disebut bersahabat pena. Kalau ini banyak generasi tua dan muda yang tahu, entah generasi yang lebih muda lagi. Sebab, ketika mengajar, murid-muridku ada yang tidak tahu apa itu stamp, juga prangko. Ketika dijelaskan bahwa prangko itu bla bla bla, jawabannya hanya ‘ya’ sekadarnya. Sebab memang tidak pernah melihat prangko secara langsung. Sedih nggak siiihhh… Amplop pun aku yakin fungsi utama di pikiran mereka untuk kirim surat izin tidak masuk sekolah atau tempat angpau, haha. Pun bahasa Indonesia dari envelope mereka juga tidak tahu. Padahal mah dulu waktu aku seusia mereka sudah tahu. Bagaimana dengan istilah ‘sahabat pena’? Wah, aku tidak menjamin banyak anak zaman sekarang yang tahu.

Kali ini aku tidak membahas soal bersahabat pena, tapi lembaga yang membuat kegiatan bersahabat pena bisa berlangsung. Tak lain dan tak bukan adalah kantor pos.

Bisa dibilang yang berhubungan dengan pos sudah cukup akrab denganku sejak kecil. Waktu itu surat menyurat masih marak walau bukan aku sendiri yang melakukannya. Nah, ketika beranjak remaja, yang notabene waktu itu ponsel sudah marak sekali dan surat menyurat sudah banyak pudar, aku teringat kembali dengan kebiasaan surat menyurat orang-orang dulu.

Tapi waktu itu (bahkan sampai sekarang), aku belum tertarik untuk bersapen—singkatan dari bersahabat pena—dengan orang dalam negeri. Alasanku, karena sudah tiap hari komunikasi langsung pakai bahasa Indonesia dan Jawa dengan orang lokal, maka aku memilih untuk melatih bahasa Inggrisku saja. Akhirnya aku mencari teman baru dari luar negeri. 

Salah satu hal yang kuperhatikan tentu saja berapa jumlah prangko yang harus kubayar. Ketika surat sudah siap, aku pergi ke kantor pos. Karena aku tidak berpengalaman kirim surat, maka jelas aku percaya sama apapun yang dikatakan pegawainya. 

Waktu itu sekitar tahun 2011. Kata pegawainya, mending pakai surat tercatat saja karena tarifnya sama dengan kalau pakai prangko. Tambahan lagi, suratnya bisa dilacak. Enak, kan? Pikirku, boleh lah, walaupun sebenarnya aku lebih tertarik pakai prangko soalnya dari segi visual saja lebih menarik. Waktu itu tarifnya lima belas ribu rupiah, jauh-dekat maupun ringan-berat. Rada aneh juga sih, kok mirip angkot? Pikirku, negara yang lebih dekat harusnya lebih murah dan surat yang berat bakal lebih mahal dibanding surat yang isinya dua lembar kertas saja. Mana prangko dan pos tercatat tarifnya sama pula. Tapi ya sudahlah, nurut saja. 

Kebiasaan ini berlanjut hingga setahunan lebih, kurang tahu pastinya. Kemudian sempat vakum dari dunia surat menyurat beberapa tahun. Ketika sudah lulus kuliah, ada keinginan untuk melanjutkan lagi. Karena teman-teman yang dulu tidak ada kabar lagi, maka aku cari teman baru. 

Dapat teman baru, kirim surat lagi. Kali ini coba aku kirim pakai prangko, dan naudzubillah harganya naik jadi Rp 20.000. Laaah, tarif Rp 15.000 saja sudah agak mahal bagiku, bahkan setelah beberapa tahun berlalu! Jauh-dekat dan berat-ringan masih sama saja. Tapi lagi-lagi aku nurut saja.  

Tapi ternyata muncul lagi rasa penasaran tentang tarif kirim surat. Mencari info resmi dari Pos Indonesia di internet rasanya nggak nemu, malah nemunya tarif kirim surat tercatat yang sudah nggak Rp 15.000 lagi, tapi sudah di atas seratus ribu! Waduh…

Jadilah aku browsing di Google. Tidak nemu tarif prangko resmi di website Pos Indonesia, aku cari di blog-blog punya orang. Tidak ada yang bahas surat menyurat ke luar negeri sih, semuanya bahas tentang program postcrossing atau tukar menukar kantor pos antar negara. Tapi aku menemukan hal penting di blog-blog tersebut.


edit: per April 2020 belum ada info mengenai perubahan tarif

Ini hal yang penting itu!
Bagai disambar gledek nggak sih (halah)? Ya pokok intinya aku terkejut lah. Kok bisa semurah itu??? Lalu selama ini?? *pingsan*

Bayangkan betapa banyak uang yang seharusnya bisa aku selamatkan! Bukan karena lebih aman karena pos tercatat sih, toh pakai prangko juga aman kok (walau dengan sekian persen risiko surat tak sampai, tapi itu bukan masalah besar).

Lanjut browsing lagi, ternyata kasus ‘penipuan’ seperti ini juga dialami orang-orang di luaran sana. Ada yang ‘dipaksa’ oleh pegawai kantor pos untuk pakai pos tercatat dengan iming-iming keamanan.  Ada yang ‘membolehkan’ pakai prangko tapi dikasih harga yang lebih mahal dari seharusnya. Yang kubaca, untuk kirim kartu pos diberi tarif Rp 10.000, dipukul rata ke semua negara. Padahal kenyataannya lebih murah. Kata para konsumen itu, ada dua kemungkinan kenapa itu bisa sampai terjadi. Pertama, pegawai pos memang tidak paham tarif yang berlaku, dan kedua, pegawai pos memang sengaja memberi harga yang lebih mahal agar pemasukan kantor pos tambah banyak. Yang terakhir ini kemungkinan bisa terjadi karena fungsi kantor pos sebagai alat komunikasi sudah tergerus media komunikasi lain yang lebih cepat dan murah.

Lewat blog walking aku dapat tips. Daripada berargumen dengan pegawai pos atau dikasih informasi sesat, aku coba ikuti tips-tips yang aku dapat. Satu, tempel prangko sejak dari rumah. Jangan beli prangko di kantor pos lalu langsung ditempelkan sebab pasti ditanya mau kirim ke mana. Dan ini bisa memancing insiden salah tarif. Kedua, masukkan surat/kartu pos ke kotak surat, jangan kasih petugasnya. Tapi saranku pribadi, masukkan kotak surat yang ada di kantor pos saja (bukan yang di jalan-jalan) dan pastikan kotak tersebut rutin dibuka petugas. Caranya? Bisa tanya atau masukkan saja ke kotaknya. Ketika memasukkan surat perhatikan dengan baik suaranya. Ketika surat kita mendarat di tumpukan surat orang lain, alias jika sudah ada surat lainnya di dalam kotak pos, kemungkinan akan baik-baik saja. Ketiga, langsung serahkan petugas tapi langsung ngeluyur begitu selesai menyetor surat. Tidak usah berlama-lama, nanti keburu dipanggil hehehe. Untuk lebih amannya lagi, hadapkan bagian amplop yang diberi perangko menghadap ke bawah. Jadi, yang kelihatan di muka adalah bagian belakang amplop.


Namun ada juga yang tidak punya pengalaman kurang menyenangkan. Ada petugas pos dari kantor pos besar yang paham dan jujur, memberi tarif dengan yang sehaursnya. Bahkan menunjukkan tabel yang di atas. Yah, beruntung banget, ya...

Pernah suatu kali aku memastikan lewat Twitter resmi Pos Indonesia untuk mengonfirmasi apa tabel tersebut memang benar tarif resmi. Jawabannya iya. Mereka mengiyakan kalau memang itu tarif yang resmi. Lalu aku balas, meminta agar mereka mengedukasi semua pegawai agar tidak memberi informasi yang salah.

Awal memakai tarif yang resmi di atas, sempat khawatir sedikit kalau suratnya tidak terkirim atau tidak sampai, habisnya tarifnya menurutku termasuk murah, sih. Tapi setelah diuji coba, Alhamdulillah diterima dengan selamat di tujuan.

Dulu, waktu masih pakai surat tercatat harga Rp 15.000, aku terima banyak sekali surat perkenalan dari Jerman (sebab waktu itu aku daftar sahabat pena di website asal Jerman). Karena kalau dibalas langsung semua juga uang darimana :’D akhirnya aku berniat menyicil saja untuk membalas walau bakal butuh waktu lama hahaha (yang pada akhirnya sangat sedikit surat yang waktu itu langsung kubalas).

Nah setelah aku tahu kenyataannya, maka semua surat yang belum terbalas itu aku balas semua dalam waktu singkat. Habisnya cuma Rp 7000 wakakaka. Setelah beberapa tahun berlalu, tentu yang membalas balik bisa dihitung jari. Tapi ya sudahlah. Apa saja bisa terjadi dalam waktu beberapa tahun.

Tips yang lain adalah sedia prangko berbagai macam nominal (dan berbagai macam gambar hihihi). Kalau tinggal di kota kecil, pergi ke kantor pos kota yang besar, contohnya Surabaya. Disitu lumayan banyak prangko beraneka nominal dan gambar. Langsung beli cukup banyak. Memang butuh modal sih, tapi setidaknya kalau mau kirim surat tidak usah nunggu beli prangko dulu dan yang terpenting, menempel prangko sesuai harga, bukannya dilebihkan karena keterbatasan nominal prangko yang dipunya. Tapi memang agak repot buat yang tinggal di kota yang jauh dari kota besar. Tapi begitu tipsku. Karena tempat tinggalku tetanggaan sama Surabaya, ketika suatu hari aku ada perlu di situ, maka sekalian saja pulangnya mampir ke kantor pos besar. Tapi sepertinya sih bisa juga beli online buat yang tinggal jauh dari kota besar, belum pernah coba juga.

Dulu karena sayang dengan uang Rp 15.000, maka aku kalau nulis surat sekalian yang panjang hahaha (nggak mau rugi ceritanya). Sebisa mungkin diselipin barang kecil apa gitu. Aku bahkan heran dengan orang luar yang kalau kirim surat (terutama surat perkenalan) bisa pendek-pendek begitu, yang nulis bahkan nggak nyampe satu halaman. Tapi kayaknya mereka memang tidak punya pegawai pos seaneh Indonesia sih.

Sayang juga sebenarnya kalau kantor pos yang harusnya jadi BUMN yang sangat diperlukan jadi menurun kualitasnya. Semoga Pos Indonesia bisa membenahi diri lagi. Sampai kapanpun kurasa surat menyurat tradisional pakai prangko bakal selalu ada. Kenangannya itu lho…

Komentar

Postingan Populer