Apa yang Kaucari di Media Sosial?

Image by Jan VaĊĦek from Pixabay 

Apa yang kaucari di medsos? Apa pentingnya medsos? Terlepas dari sisi positif yang mereka punya, tentu saja kali ini aku mau highlight sisi kurang baik yang dilakukan orang-orang di medsos, kalau nggak bisa dibilang sisi yang kurang kerjaan, sih.

Mulai dari Facebook.

What’s on your mind? 

Yah, ditanya seperti itu orang bisa tergelitik untuk menjawab, kan? Sayangnya status disalahartikan untuk ditulisi hal-hal kurang kerjaan atau malah yang negatif.

Tipe-tipe status:

  • Status nganggur, seperti ngetik “Hy” atau nulis kalau bosan nggak ngapa-ngapain. Akhirnya tulis status, deh. Mungkin dia kira bakalan dapat ilham kali ya. Dan yang bikin nyebelin, orang ini pakai bahasa apa, sih? Bahasa karangannya sendiri? Bahasa Inggris? Bahasa Indonesia? #RIPEnglish #RIPIndonesian. Sejak zaman dahulu kala aku sudah langsung hilang feeling sama orang macam begini. Selain karena tidak menggunakan ejaan yang tepat dengan disengaja (hahaha), utamanya orang macam begini dari kesan pertama aja udah pasti nggak aku banget (IYKWIM). 
  • Status galau. Entah karena masalah percintaan, apalagi kalo soal pacar (yieks), galau karena nggak bisa melakukan yang diinginkan, dapat nilai jelek, dan sebagainya.
  • Status pamer, baik yang terselubung maupun terang-terangan. Aku pernah kirim friend request ke seseorang yang kukira hebat di bidang kepenulisan. Kaya orang berilmu gitu loh. Setelah diterima, lha kok ternyata dia jauh dari bayanganku. Ya memang dia berilmu, tapi caranya nulis di FB itu lho, seakan-akan dia paling hebat sejagat dan orang-orang yang dia temui di FB nggak ada apa-apanya. Sibuk komentar orang itu beginilah, orang itu punya pemikiran nggak banget lah, pokoknya seakan-akan dia itu inti dari semesta ini. Aku lupa nasib dia di FB ku bagaimana, aku unfriend atau nggak, toh sekarang FB ku sudah nggak aktif lagi. Duh, toxic banget deh orang yang begitu! Tapi herannya banyak yang memuja dia, hhhh.
  • Status yang berguna. Entah itu kasih motivasi, kasih ilmu (tanpa terselip rasa pamer atau riya), info barang hilang, atau info pedagang kecil yang bisa dibantu.
Status sendiri nggak cuma dalam bentuk tulisan. Bisa juga disisipi foto. Foto bisa diunggah bersama status atau diunggah secara sendiri. Nah, foto sendiri bisa menjerumuskan. Mulai dari foto selfie yang nggak penting banget sampai foto yang berpotensi bikin iri, tergantung interpretasi orang yang melihat. Yah, kalaupun memang berniat memotivasi dengan menampakkan kesuksesan, ada baiknya nggak usah sering-sering, ya. Kita nggak tahu apa pendapat orang di luaran sana. Bisa jadi itu bikin orang membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan si pengunggah foto. Bukannya termotivasi, bisa jadi iri, sedih, tidak bersyukur, larut dalam kegagalan, bahkan dengki. Nah, daripada begitu, kenapa enggak menceritakan lika-liku bisa sukses alih-alih menunjukkan hasil ‘matengannya’ saja?

Lalu ada juga yang posting info lowongan pekerjaan palsu. Dibanding Instagram, yang posting loker bodong di FB jauh lebih banyaaak. Nah, apa untungnya coba dia begitu? Dapat uang dari korban yang terperdaya? Kalau ditegur, langsung menghilang atau malah berlagak jadi korban salah tuduh. Duh…

Setelah FB, kita lanjut ke Path.

Path punya fitur yang lumayan unik sih menurutku. Terkesan lebih ringkas dan tampilannya lebih eksklusif dibanding FB yang mirip sama Friendster atau MySpace (kemungkinan generasi kekinian tidak mengenal dua medsos legendaris ini).

Tapi memang perlu ya orang lain tahu lagu apa yang kamu dengarkan, atau buku apa yang kamu baca? Padahal kuyakin kalau kamu lagi dengerin lagu dangdut (baik disegaja maupun tidak, seperti di kondangan contohnya) kamu nggak bakal upload di Path. Benar, kan? Kan? Paling cuma segelintir orang saja.

Dan aku tidak yakin apa pentingnya orang tahu kamu bangun tidur jam berapa. Kalau kepagian, orang-orang bisa berpikir kalau kamu pengen mereka tahu kamu anak rajin. Yang ini berpotensi untuk jadi ajang pamer. Kalau bangun agak siang, sebaliknya, mereka bisa berpikir kalau kamu anak malas. Kalau yang ini bisa jadi menjelekkan reputasimu, apalagi kalau kamu Muslim.

Baca juga: Video yang Menginspirasi untuk Segera Menjauh dari Media Sosial

Kemudian Instagram, medsos yang paling eksis saat ini.

Waduh, kalau ini nggak usah ditanya. Diantara semua medsos, aku kira ini yang paling berbahaya saat ini. Ya, walaupun menekankan pada foto dan video pendek, dan tidak punya fitur sebanyak Facebook, tapi justru dari gambar itulah orang bisa tahu keadaan orang lain lewat gambar yang menarik, alih-alih cuma dari tulisan. Menurut penelitian juga memang medsos ini yang paling berbahaya dari semuanya (dengan YouTube yang paling tidak berbahaya).

Karakteristik foto atau video yang dimaksud tentu saja sudah kujabarkan di sesi FB di atas. Sama saja, cuma beda media mosialnya.

Dan terkait soal Instagram ini, seperti yang kusebutkan di tulisan sebelumnya, aku kembali memasang aplikasinya karena memang perlu. Dan suatu hari, karena aku memotret sesuatu yang menurutku lucu, maka aku unggah tuh lewat aplikasnya. Likes datang seperti sebelumnya, berbulan-bulan setelah unggahanku terakhir kali. Wah, orang-orang itu masih aktif IG ternyata, hahaha, batinku. Dan anehnya, melihat notifikasi masuk, membuka aplikasi untuk mengecek, membuatku agak ketakutan. Seperti takut bakalan kebablasan lagi, dan untungnya tidak. Dan aku bersyukur sekali karena tandanya aku memang sudah lebih bersih (update: karena aku sudah tidak perlu aplikasi lagi, maka aplikasi kuhapus dan akun aku deactivate kembali, dan itu membuatku lebih lega).

Lalu ada Twitter. Kalau ini sih, jujur, tidak menemukan banyak hal yang memuakkan. Ada sih, tapi nggak sebanyak medsos lain. Itu kenapa dari semua medsos, hanya di sini aku punya akun yang masih bertahan dengan identitas asli (terlepas dari memang aku nggak pakai Twitter sebanyak medsos lain). Dan aku jadi paham kenapa Twitter dianggap sebagai medsos paling ‘berkelas’ saat ini bagi para penghuninya, karena memang orang yang ngerusuh di situ nggak sebanyak di IG atau FB.

Alkisah, mimin suatu akun Twitter berkata pada para follower:

M: Netijen yang budiman, kalian jangan ikut mem-bully, ya. Dia pasti sudah bekerja keras.

N: Ya nggaklah min, memang kita kaya anak sebelah?


Anak sebelah = anak Instagram. Menurut mereka, anak IG adalah anak-anak kampungan, tukang bully, dan banyak berisi anak-anak labil nan banyak makan micin. Tapi tentu saja ada kasus netijen tak baik beredar di Twitter juga. Rada gimana juga sih. Aku tidak membela Twitter atau IG, toh keduanya sama-sama medsos dan aku sudah menjauh dari keduanya, tapi masing-masing penghuni juga nggak ada yang memuaskan. Anak-anak IG seperti yang disebutkan di atas, sementara anak-anak Twitter kesannya menganggap diri mereka eksklusif, berkualitas, dan cerdas.

Sekali lagi, tidak semuanya seperti itu.

Dan ada fenomena lain.

Terlepas dari medsos manapun yang mereka pakai, aku nggak paham kenapa mereka harus mencantumkan tanggal lahir, tempat kuliah sekaligus angkatan sekaligus jurusannya, dan yang menurutku hal kurang penting lain, seperti tag akun pacar contohnya (hohoho!).

Aminah Bella Cahaya (ini cuma nama rekaan)
S.H. (ikon sarjana). Universitas A ’14 (sebut nama univ terkemuka sekaligus angkatannya)
20-10-96 (tanggal lahir)
@budianakhandsome ‘s (pakai ikon hati, lagi-lagi akun rekaan)

Trus? Buat apa? Biar orang-orang tahu kalau kamu anak cerdas? Kalau ulang tahun biar nggak ada yang lupa dan dikasih hadiah? Trus kamu cewek laku yang punya pacar? Hehehe. Tapi ini opini pribadiku, ya. Buat aku, rada gimana gitu kalau ada yang pakai nyantumin hal-hal seperti itu. 

Catatan: aku tidak punya Snapchat dan tidak tahu persis apa itu Snapchat. Aku tidak pernah merasa harus punya juga jadi errr, ya, aku nggak bisa kasih pendapat soal ini. 

Lalu, dengan aku menjabarkan hal negatif diatas, apa berarti aku tidak pernah seperti itu? Malah sebaliknya haha! (tapi bukan semuanya lho, ya).

Dengan keinginan untuk mengunggah semua hal ke medsos, sebenarnya itu malah menjadi beban. Aku sendiri tahu itu. Tapi yah, namanya medsos memang bisa bikin ketagihan, bahkan bisa bikin was-was.

Pokoknya semua harus kelihatan oke! Pegang buku keren biar dikira cerdas. Makan di tempat ngehits biar dibilang gaul dan banyak duit. Tiap ketemu teman (baik yang akrab atau tidak) harus foto biar dikira anak populer, bukannya anak culun yang nggak punya banyak teman. Tiap bepergian harus kabar-kabar di medsos, sekalian tandai lokasinya! Tiap kali membuat pencapaian bagus harus diunggah, biar dikira anak berprestasi!

Dan masih banyak lagi contohnya. Sadar nggak sih ini sebenarnya membuat kita was-was bahwa tiap hal tidak boleh terlupakan untuk diunggah? Bahkan ke lebih dari satu medsos? Bahkan hal-hal buruk sekalipun? Kecelakaan, diunggah. Sakit hati, diunggah. Konflik sama teman, saling sindir di medsos. Duh, duh, duh…

Tapi kan, kita pakai medsos juga nggak tiap detik juga kaleeee

Iya tau. Anak TK juga paham. Nggak mungkin juga kan nggak jeda untuk makan? Bisa mati kali. Tapi aku yakin deh, kalau pengguna medsos mulai dalam skala menengah sampai berat pasti keteteran hidupnya, kalau tidak sebagian besar. Kalau sampai ada yang tidak, wah, selamat! Anda berarti manusia langka super yang masih bisa berkualitas disaat rajin bermedsos ria.

Percaya deh, jika kebiasaan bermedsos itu dikurangi lumayan banyak, aku yakin banyak dari aspek hidup kalian yang jadi lebih baik. Jadi, kalau mau pakai medsos, ya silakan. Aku tidak pernah melarang, toh aku juga masih pakai medsos jika memang DIPERLUKAN.

Baca juga:

My Social Media Journey: Perjalanan Menjauh dari Media Sosial



Komentar

Postingan Populer