Tak Ada Yang Salah Menjadi Introver
Photo by Kyle Glenn on Unsplash |
Sebagai anak-anak, bahkan hingga
remaja, aku menganggap diriku yang introver ini berbeda dan ada yang harus
dibetulkan dari diriku.
Stigma orang-orang, terutama dulu
ketika aku masih kecil dan remaja, menganggap bahwa orang-orang introver dan
pendiam itu bukanlah orang yang ‘benar’. Kamu harus jadi orang yang lebih
terbuka: banyak omong, berwajah selalu ceria, bersemangat, ngomong dengn nada
tinggi, rajin main keluar rumah, dan sejenisnya. Mereka berpikir kalau orang
introver seperti aku ini tidak benar karena tidak ‘perhatian’ dengan pergaulan.
Padahal jika dipikir, mereka juga tidak perhatian dengan perbedaan yang ada di
antara manusia. Mereka intoleran. Aku bahkan dikomentari oleh orang yang masih
keluargaku sendiri.
Gara-gara judgment dari orang-orang sekitar, aku tidak suka ketika di
pelajaran aku menemukan kalimat: Manusia adalah makhluk sosial, yang artinya
tidak bisa hidup tanpa orang lain. Aku merasa ketika orang lain membaca itu,
mereka langsung teringat aku (entahlah, itu benar atau cuma perasaanku saja). Tidak
bisa hidup tanpa orang lain bukan berarti harus bersosialisai terus, kan? Dangkal
banget sih pikirannya.
Aku tidak tahu apa bagusnya
nongkrong menghabiskan waktu dan ngomongin orang sana-sini. Aku nggak tahu apa
pentingnya obrolan siapa pacaran dengan siapa. Aku nggak tahu apa pentingnya
berekrumun dengan anak-anak yang ‘terkenal di sekolah’ (mainstream banget kalau nongkrong dengan orang-orang yang seperti
itu). Aku nggak tahu apa bagusnya nongkrong ngabisin duit, apalagi pakai duit
orang tua. Kebetulan aku dari keluarga sederhana, dan aku jadi mikir keras: Apa
mereka nggak sayang sama uang yang dalam sekejap habis buat nongkrong di restoran
cepat saji atau mall? Tapi tentu saja mereka nggak berpikir seperti itu. Bukan mereka
yang cari uang.
Dalam diriku muncul dua sisi yang
berlainan: ingin mempertahankan kepribadianku yang asli dengan sedikit modifikasi
sesuai yang diinginkan orang-orang, atau ingin berubah sepenuhnya menjadi anak
ekstrover.
Tapi memang dasarnya aku anak
introver, yang seperti ini tidak bisa berubah. Aku berhasil mengubah beberapa
hal dalam diriku, tapi aku tak pernah bisa jadi ekstrover. Hingga suatu saat
aku ‘menyerah’, karena seekstrover-ekstrovernya kelihatannya aku, pada akhirnya
aku selalu kembali jadi introver. Mulai bermunculan banyak bacaan dan video
tentang betapa introver dalah sesuatu yang normal, dan aku mulai belajar
mencintai diriku sendiri. Mencintai keunikanku. Menerimanya sebagai suatu anugerah
untuk disyukuri, bukan suatu kutukan yang harus dibasmi.
Baca juga: Hal-Hal tentang Ekstrover yang Mengganggu Introver
Baca juga: Hal-Hal tentang Ekstrover yang Mengganggu Introver
Aku sempat menjadi guru, dan
pengalamanku sebagai orang introver yang pernah bersekolah seperti mereka
membuatku punya sudut pandang lain. Aku menghargai murid-murid ekstrover dan
introver sama besarnya. Aku memang mengajak anak-anak untuk aktif
berpartisipasi seperti mengangkat tangan dan berbicara, tapi itu bukan
satu-satunya penilaianku. Penilaian murid tidak hanya didasarkan pada lisan
mereka, tapi juga tugas tertulis mereka. Kepada anak-anak introver, aku tidak
memaksa mereka untuk bicara lebih banyak. Aku suka berkeliling untuk
memerhatikan setiap anak, dan bertanya pada anak-anak introver secara personal
apakah mereka punya pertanyaan. Dan ketika mereka mau berbicara padaku dalam
situasi personal begitu, apalagi dengan muka senang, aku jadi bahagia pula. Aku
harap aku dapat menyentuh kepribadian mereka walau cuma sedikit.
Ketika aku sekolah dulu, aku
sangat ingat saking inginnya aku berubah menjadi ekstrover, aku akan menantikan
ketika tahun ajaran baru tiba. Pikirku, tahun ajaran baru, semangat baru,
teman-teman baru. Terutama bagi tman-teman yang sebelumnya tidak sekelas
denganku atau yang belum kenal, mereka tidak tahu kalau aku anak pendiam dan
introver, jadi itulah kesempatanku untuk berubah. Pokoknya aku harus lepas dari
predikatku sebagai anak paling pendiam di kelas, karena itu terkesan tidak
bagus dan itu membuatku malu.
Tapi itu tidak pernah terjadi. Aku
tidak pernah berubah menjadi ekstrover. Aku masih pendiam, walau makin besar aku
makin luwes dalam pergaulan, utamanya ketika kuliah. Di sinilah titik balik
perubahanku. Lepas dari semester pertama perubahan cukup banyak terjadi. Aku lebih
banyak bicara pada banyak orang, ikut tertawa lepas jika ada yang lucu, berani
mengangkat tangan di kelas, memulai obrolan baik dengan yang sudah dikenal dan
orang-orang baru, dan menunjukkan ekspresi dengan lepas. Aku senang dengan
diriku yang baru, tapi tetap saja aku seorang introver. Walau aku suka
beraktifitas bahkan di luar kampus, tapi tetap saja kos-kosan selalu
menghadirkan hawa nyaman. Tapi walau nyaman, ada kalanya aku terganggu jika ada
penghuni junior norak yang kalau ngomong pakai teriak-teriak. Tetap saja aku
terganggu kalau ada anak yang ngobrol nggak tahu waktu. Sampai-sampai sama
junior di rumah kos aku dibilang kakak yang paling judes, hahaha. Tidak bicara
di depanku, tapi aku dapat laporan begitu dari teman yang seangkatan dariku. Lucu,
tapi juga kesal dibilang seperti itu. Salah siapa jadi orang menyebalkan yang
ganggu ketentraman? Dan perasaan bukan cuma aku penghuni lama yang sebal. Kenapa
harus aku coba? Apa karena ekspresiku yang terlalu jelas?
Ketika aku sudah lebih dewsa,
sudah lulus kuliah, suatu saat aku pernah mengamati ekspresiku sendiri di
cermin. Memang sih perubahan ekspresiku gampang dilihat, sangat berbeda dengan
prasangkaku selama ini. Entah sejak kapan aku punya fitur wajah seperti ini.
Dan ketika aku sudah lebih
dewasa, apalagi banyak sumber edukasi tentang introversi, aku sudah tak punya
keinginan sama sekali untuk berubah jadi ekstrover. Buat apa? Itu tidak bisa
diubah. Lagipula, sespesial apa pun orang ekstrover menganggap diri mereka atas
introver, sespesial itu pula aku yang introver ini menganggap diriku atas
ekstrover. Bukan hanya ekstrover yang bisa berbangga. Walau begitu, sebenarnya kita
sama-sama spesial, hanya berbeda sudut panjang saja.
Baca juga: Stigma-Stigma yang Melekat pada Diri Introver
Baca juga: Stigma-Stigma yang Melekat pada Diri Introver
Komentar
Posting Komentar
Mengundang pembaca untuk berkomentar. Gunakan kata yang santun :-) Komentar yang tidak baik atau spam akan dihapus