Resensi Buku: Tuck Everlasting oleh Natalie Babbitt

Apakah kehidupan yang abadi itu berkah atau musibah? Inilah yang harus diputuskan Winnie saat dia menemukan sebuah mata air di tanah milik keluarganya. Air itu memberikan kehidupan abadi bagi yang meminumnya. Anggota keluarga Tuck, yang telah meminumnya, menuturkan bagaimana mereka melihat pasang surut kehidupan tanpa menjadi tua.

Tetapi kemudian Winnie harus memutuskan apakah dia harus menjaga rahasia keluarga Tuck—atau bergabung bersama mereka dalam petualangan yang tidak akan pernah berakhir. Tentu saja ini adalah pilihan yang sulit bagi Winnie, apalagi dia menyukai Jesse, si bungsu di keluarga Tuck. Dan lagi pula siapa yang tidak ingin hidup selamanya?


Judul: Tuck Everlasting
Penulis: Natalie Babbitt
Penerjemah: Mutia Dharma
Penerbit: Atria
Edisi: 1, Oktober 2010
Tebal: 172 halaman


Pertama kali melihat buku ini di book fair dan dijual dengan amat murah (hanya Rp 5000!). Aku memutuskan membelinya, tapi pertimbanganku bukan cuma karena harganya. Sejak lama aku menyukai karya terjemahan. Aku juga tertarik melihat sinopsis dan sampulnya, seperti membangkitkan imajinasi begitu. Bukunya juga agak kecil dan tidak tebal, cocok untuk bacaan ringan.

Seperti kebanyakan buku yang kubeli, buku ini tidak langsung kubaca (tambahan lagi aku memang beli buku lumayan banyak, jadi ya hampir semua buku tersebut mengalami nasib sama haha). Lalu di suatu hari yang gabut beberapa tahun lalu, aku mulai melirik tumpukan buku itu. Aku memilih-milih mana yang paling sreg untuk dibaca saat itu juga, dan pilihanku jatuh pada Tuck Everlasting ini.

Maksudku, lihat saja sampulnya. Melihat sampulnya saja sudah membangkitkan imajinasi. Menarik, bukan? Seorang anak perempuan seperti memikirkan hal sendu di dalam hutan, duduk di atas batu besar, dengan memangku seekor katak. Oke, aku tidak suka dan jijik pada katak, tapi tidak masalah kan kalau katak itu tidak terpampang nyata di depanku?

Sempat berpikir kalau ada orang yang tahu aku baca buku anak-anak dan menganggapku kekanak-kanakan, aku akan siap berkata: “Hei, itu tuduhan yang jahat!” (dan mungkin kekanak-kanakan juga). Lagipula orang dewasa mana coba yang tidak ketawa baca komik Shinchan? Itu contoh mudahnya.

Kenyataannya, kau bisa menemukan pelajaran hidup bahkan dari buku anak-anak sekalipun. Jangan melihat sesuatu dari sampulnya saja, bukan? Dan aku benar-benar tak menyesal beli buku ini. Salah satu buku terbagus yang pernah kubaca sepanjang masa. Tak heran juga buku ini jadi buku yang sangat laris di negara asalnya, Amerika Serikat.

Dari segi bahasa, mungkin agak tinggi bagi ukuran anak-anak Indonesia. Selama ini kalau kuperhatikan, bahasa novel anak buatan penulis Indonesia kebanyakan lebih mudah dimengerti dan sederhana dibanding novel anak buatan penulis luar negeri. Tapi kurasa novel ini masih cocok sekali dibaca anak-anak Indonesia.

Kalau dibaca orang dewasa, sudah tentu bahasa novel ini lebih mudah dimengerti. Sederhana tanpa perlu banyak deskripsi dan bahasa mendayu-dayu, yang kalau kusebut bahasa nyastra. Sejujurnya aku malah kurang suka dengan tulisan yang nyastra, makanya aku tidak suka puisi disaat pecinta literatur lain suka. Aku suka gaya bahasa yang sederhana tapi tentunya gaya penyampaian dan isinya tidak murahan.
Berkaitan dengan kesederhanaan bahasanya, makanya aku tercengang sekali dengan betapa hebat pesan moral yang terkandung dalam novel ini. Tanpa narasi dan dialog yang bertele-tele dan banyak mengulur waktu, ceritanya tersampaikan secara cepat tapi bisa meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya.

Jalan ceritanya pakai alur maju, dan berlatar awal tahun 1880-an di suatu desa (fiktif) bernama Treegap di musim panas yang pengap. Novel yang klasik, apalagi cerita ini memang sudah cukup lama ditulis. Diterbitkan pertama kali tahun 1975 oleh Square Fish, ini salah satu cerita anak-anak paling sukses di negara asalnya, dimana banyak guru memberi tugas bacaan untuk novel ini.

Sumber: https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=19185830

Tema novel ini, seperti yang sudah diketahui dari sinopsisnya, adalah tentang fantasi, khususnya tentang mata air ajaib yang bisa membuat hidup abadi. Bagaimana mata air itu memengaruhi keputusan Winnie untuk jalan hidupnya, aku tidak mau menceritakan. Dan kusarankan untuk tidak cari tahu, sebab akan sangat berharga untuk diketahui sendiri akhir cerita dengan membaca bukunya.

Selain tentang keajaiban, novel ini juga bercerita tentang keluarga (permasalahan dan rasa cinta), tolong menolong, keserakahan, pengambilan keputusan, juga kebijaksanaan. Tema yang cukup rumit jika dipikir dalam-dalam, tapi tidak terasa berat untuk dibaca dikarenakan pembawaannya yang ringkas dan sederhana.

Tata letak buku ini juga bagus. Hurufnya tidak kecil-kecil dan ditata renggang hingga cocok dibaca anak-anak (namanya juga buku anak-anak), desainnya bagus, sampulnya menarik, sinopsis yang ada di sampul belakang juga memancing perhatian tanpa mengungkap akhir cerita.

***

Sudah seberapa familiarkah kalian dengan tema cerita hidup abadi? Sepertinya kebanyakan sudah cukup familiar, ya. Tapi walau begitu, buku ini sangat menarik untuk dibaca karena walaupun temanya tidak begitu anti mainstream, tapi sungguh pembawaan ceritanya bagus dan ada aspek lain yang menarik untuk dikulik. Seperti bagaimana kehidupan abadi tidak semenarik kelihatannya, malah membawa kesedihan yang aku sendiri sampai bisa merasakan, huhuhu.

Buku ini mengulik bagaimana keputusan harus dengan bijaksana dibuat, apapun itu. Memang tidak bisa selalu memuaskan semua pihak, namun pilihlah keputusan yang paling mendekati kebijaksanaan. Selain itu, hargailah keputusan yang diambil orang lain. Tidak sesuai harapan awal kita bukan berarti itu keputusan yang egois. Ada baiknya coba melihat dari berbagai sisi.

Kebijaksanaan yang dikulik novel ini contohnya pada dialog antara Winnie dan Angus Tuck (lebih banyak Tuck, sih) waktu mereka naik perahu di danau.

“—Dan di seluruh tempat di sekeliling kami, semuanya bergerak dan tumbuh dan berubah. Misalnya saja kau. Hari ini seorang anak, tapi suatu hari kau akan jadi wanita dewasa. Dan setelah itu, kau bergerak untuk memberi ruang bagi anak-anak yang baru.”


Hidup selalu berputar, tak pernah sama, dan mengajarkan kita bahwa tumbuh dan menjadi tua adalah keniscayaan. Tak perlu dirisaukan, takut menjadi tua dan tak menarik lagi, karena memang seperti itulah siklus hidup.

Kesanku pada buku ini sangat bagus. Dengan jumlah halaman yang tidak banyak, menggunakan bahasa yang sederhana, namun memberikan kesan yang mendalam. Hal menarik lain di buku ini adalah penggambaran rasa suka antar lawan jenis (Jesse dan Winnie) yang menurutku lucu dan polos.

Buku tentang anak-anak mungkin memang bisa diselipkan hal tentang rasa suka lawan jenis, namun tentu saja berbeda cara penyampaiannya dengan novel dewasa.

Seorang pemuda yang hampir dewasa sedang duduk santai sambil bersandar di batang pohon itu. Dia kelihatan begitu tampan sehingga Winnie langsung jatuh hati padanya.

***

“Kau sudah menikah?”

Kali ini dia tertawa terbahak-bahak. “Belum. Aku belum menikah. Kau?”

Sekarang giliran Winnie tertawa. “Tentu saja belum,” ujarnya. “Umurku baru sepuluh. Tapi sebentar lagi aku akan berumur sebelas tahun.”

“Nah, lalu kau akan menikah,” ujarnya.

***

“Nah, dengar, bagaimana kalau kau menunggu sampai kau berumur tujuh belas, seumur denganku—wah, itu kan cuma enam tahun dari sekarang—lalu kau pergi ke situ dan minum sedikit airnya, dan nanti kau bisa pergi bersamaku! Kita bahkan bisa menikah. Itu bakal bagus sekali, bukan? Kita bisa menikmati waktu, pergi berkeliling dunia, melihat semuanya—“


Hal menarik lainnya, tentu saja kebijaksanaan dari tokoh Tuck yang sebelumnya aku singgung. Aku suka dengan perumpamaan yang diberikan Babbitt lewat tokoh Tuck tentang kehidupan. Penjabaran yang menyentuh dan mudah dimengerti.

Dia merasa marah akan hal itu, tak berdaya dan terhina, dan akhirnya berkata, “Aku tidak ingin mati.”

“Tidak,” kata Tuck dengan tenang. “Tidak sekarang. Waktumu bukan sekarang. Tetapi kematian adalah bagian dari roda itu, persis di samping kelahiran. Kau tidak bisa memilih bagian yang tidak kausukai dan menyisakan yang lainnya. Menjadi bagian dari semuanya adalah sebuah anugerah—“


Akhir ceritanya sangat menyentuh hati. Aku bahkan hampir menangis membacanya. Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca segala umur karena sarat akan pelajaran hidup yang digambarkan dengan cukup sederhana dan ringan.

Komentar

Postingan Populer